Hukum KTP ganda menjadi salah satu persoalan kependudukan yang berdampak serius karena bukan hanya soal ketertiban administrasi, melainkan juga berkaitan langsung dengan norma hukum yang mendasari kehidupan bernegara. Banyak orang belum menyadari bahwa memiliki lebih dari satu KTP elektronik bisa menimbulkan risiko pidana berat, mulai dari ancaman penjara hingga denda yang nilainya tidak sedikit. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, persoalan ini juga berkaitan erat dengan Norma Pertama dalam Tata Hukum Indonesia yang menjadi landasan segala aturan perundang-undangan, sehingga penegakannya tidak dapat dianggap remeh.
Persoalan identitas ganda muncul karena berbagai faktor. Sebagian orang lalai dalam administrasi, sedangkan yang lain sengaja membuat KTP ganda untuk memperoleh keuntungan pribadi. Namun apa pun motifnya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah dengan tegas melarang keberadaan dokumen kependudukan lebih dari satu untuk orang yang sama.
Mengapa Hukum KTP Ganda Diterapkan Ketat?
Pemerintah menerapkan hukum KTP ganda secara ketat karena Indonesia menjadikan norma hukum sebagai pedoman utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Petugas kependudukan merancang sistem identitas tunggal melalui KTP elektronik agar data setiap warga tercatat hanya sekali dalam database nasional. Data tunggal ini kemudian menjadi dasar berbagai kebijakan publik, mulai dari distribusi bantuan sosial, pelayanan kesehatan, hingga penegakan hukum pidana.
Selain itu, ketentuan hukum yang mengatur larangan KTP ganda juga memiliki fungsi pencegahan. Jika seseorang dapat menggandakan identitas dengan mudah, ia akan meningkatkan risiko penyalahgunaan data secara signifikan. Pelaku dapat membuka rekening bank fiktif, mengajukan kredit, atau bahkan melakukan tindak pidana lain menggunakan identitas palsu. Di sinilah letak pentingnya norma hukum yang mengikat seluruh warga negara tanpa kecuali.
Norma Hukum Sebagai Dasar Penegakan
Hukum dalam Administrasi Kependudukan
Norma hukum bukan hanya aturan tertulis yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Dalam praktiknya, norma menjadi kaidah yang menjembatani kepentingan individu dan negara. Norma juga menegaskan tanggung jawab setiap warga untuk jujur dalam memberikan data diri, karena setiap pelanggaran berdampak luas terhadap sistem administrasi negara.
Jika merujuk pada Norma Pertama dalam Tata Hukum Indonesia, norma itu menjadi titik pangkal seluruh aturan hukum lain. Artinya, setiap regulasi yang lahir, termasuk Undang-Undang Administrasi Kependudukan, berdiri di atas norma yang sama: mewujudkan kepastian, keadilan, dan ketertiban. Dengan kata lain, memiliki KTP ganda bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk penolakan terhadap asas hukum yang berlaku secara nasional.
Risiko Pidana yang Mengintai Pemilik KTP Ganda
Ancaman Sanksi Berat
Pasal 95B Undang-Undang Administrasi Kependudukan secara jelas mengatur risiko pidana bagi pemilik KTP ganda. Penegak hukum dapat menjatuhi pidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp25 juta kepada setiap orang yang dengan sengaja memiliki lebih dari satu KTP elektronik dengan data identitas yang sama. Bagi sebagian orang, ancaman ini mungkin tampak sepele, tetapi dalam proses penegakan hukum, kasus semacam ini bisa berkembang menjadi pidana umum.
Pasal 263 KUHP juga memberikan dasar hukum tambahan. Penegak hukum menganggap pemalsuan dokumen identitas sebagai perbuatan yang sangat merugikan dan dapat menjatuhkan pidana penjara hingga enam tahun kepada pelakunya. Banyak kasus pidana pemalsuan data identitas yang pada akhirnya membuka tabir praktik penipuan daring atau korupsi dana bantuan sosial.
Tinggalkan Balasan